^_^ .Assalamu'alaikum. ^_^

Minggu, 23 Maret 2014

Senyum Sang Putri

Oleh: Naila Yumna Salsabila

Setiap hari Putri Sisy, putri mahkota kerajaan bersedih. Ia selalu memikirkan kulitnya yang hitam legam. Ia malu untuk memperlihatkan wajahnya kepada seluruh rakyat. Pekerjaannya tiap hari hanya mengurung diri di dalam kamar. Bahkan tiap bercermin ia selalu takut melihat bayangan wajahnya.

Pernah suatu hari, putri diundang untuk merayakan acara pesta ulang tahun di kerajaan tetangga. Tetapi putri menolak dan tetap saja mengurung diri di kamar. Sang Raja menyuruhnya untuk tetap datang. Terpaksa putri Sisy menuruti perintah sang ayah. Ia pun diantar oleh kereta kuda kerajaan.

Sesampainya di kerajaan tetangga, putri segera duduk di kursi yang kosong. Ia menundukkan kepalanya. Tetapi salah seorang yang menghadiri pesta itu mengejek sang putri. Putri Sisy sangat malu dan segera meninggalkan acara itu. Putri pun tidak pernah mau lagi keluar kamar dan menghadiri acara.

Pada suatu pagi yang cerah, putri Sisy merasa bosan. Ia ingin keluar istana untuk menghirup udara segar. Tetapi, putri bingung. Ia ingat saat menghadiri acara pesta ulang tahun. Putri Sisy diejek dan ditertawakan. Ia takut peristiwa itu terjadi lagi.

Setelah berpikir panjang, putri Sisy pun memutuskan untuk keluar istana dan duduk-duduk di sebuah taman yang indah. Ia pun menuruni tangga, menyusuri lorong istana, dan membuka gerbang. Setelah itu, Putri berjalan dua kilometer dari istana. Dan sampailah putri di sebuah taman yang indah. Banyak bunga dan pepohonan di sana. Banyak kupu-kupu yang berterbangan kesana kemari. Putri takjub saat melihatnya. Ia memutuskan untuk duduk di sebuah kursi yang berwarna biru bermotif awan. Disamping kursi itu terdapat lampu yang sangat indah, dan bunga mawar merah mekar.

Setelah duduk, Putri memandangi ayunan taman yang tidak jauh dari kursi. Di sana, terdapat kupu-kupu biru yang indah. Putri Sisy pun segera menghampiri ayunan tersebut.

Saat di tengah jalan, putri Sisy tertabrak oleh seseorang. Putri pun terjatuh. Bajunya basah terkena minuman yang dibawa oleh anak itu.

"Oh maaf," kata anak tersebut.

"Ah tidak apa-apa," jawab putri sambil berlari menundukkan kepala.

"Hei.. tunggu!!! Sini aku bersihkan pakaianmu." Ujar gadis kecil itu sambil mengejar putri.

"Hei tunggu..." Katanya lagi sembari memegang pundak putri. Putri Sisy pun berbalik. Mukanya ditutupi oleh jubah ungunya.

"Kenapa kau berlari? Siapa namamu?", tanyanya.

"Hmm....kenapa? Kamu malu ya? Nggak usah malu, kenalkan, namaku Sheira!" Kata Sheira sambil mengulurkan tangannya mengajak berkenalan.

"Na...namaku Sisy!" ujar putri pelan sambil menyambut uluran tangan Sheira.

"Ooh... sini aku bersihkan dulu bajumu," paksa Sheira sambil membersihkan baju putri.

Putri Sisy tidak bisa menolak, lalu berterima kasih dan langsung berlalu. Terdengar Sheira memanggilnya lagi.

"Hey! Sisy! tunggu!" seru Sheira.

Putri membalikkan badan. Jubah ungunya terlepas. Ia lalu berlari kembali.

"Sisy! Tunggu!" seru Sheira berusaha menjangkau tangan putri. "Aku ingin jadi temanmu!" kata gadis kecil itu lagi.

"Benarkah? Apakah kamu tidak malu punya teman yang jelek dan hitam seperti aku? teman-teman yang lain selalu mengejekku" kata putri Sisy tak percaya.

Akhirnya mereka berteman. Sheira mengajak putri bermain di rumahnya yang tidak jauh dari taman. Putri Sisy menolak, ia mengajak Sheira untuk bermain di halaman rumahnya yang luas. Saat sampai di depan istana, Sheira terheran-heran.

"Hah...ini rumahmu?" wajah Sheira terbelalak tidak percaya. "Pasti kamu bohong ya?" katanya lagi masih tidak percaya.

Mereka pun masuk ke dalam istana dan disambut dengan baik oleh Raja dan Ratu. Kedua orang tua Putri sangat bahagia, akhirnya putri tunggalnya memiliki teman.

Sejak saat itu Putri Sisy tidak kesepian lagi. Wajahnya terlihat selalu tersenyum. Ia tidak memperdulikan wajahnya yang terlihat jelek dan kulitnya yang gelap. Karena selalu tersenyum, Putri Sisy pun terlihat cantik dan orang-orang melupakan kulitnya yang hitam.

*tamat*

Gulai Kambing

Oleh: Naila Yumna Salsabila

Pagi itu, Ningsih berkeliling menjual kue buatan ibunya. Ia berangkat jam tujuh pagi dan pulang jam dua belas siang. Sejak bapaknya meninggal, gadis kecil itu terpaksa berhenti sekolah.

Saat di tengah jalan, perutnya terasa lapar. Ningsih tidak sempat sarapan sebelum berangkat. Tiba-tiba tercium aroma makanan yang sangat lezat. Diikutinya aroma tersebut.

Beberapa saat kemudian, Ningsih menemukan dari mana asal bau yang sedap itu. Ternyata aroma tersebut berasal dari arah dapur rumah Pak Haji Salim. Karena penasaran, ia pun mengintip dari balik jendela.
Ningsih terkejut saat melihat apa yang Bu Haji masak. Satu panci besar dipenuhi oleh gulai kambing, makanan kesukaannya yang hanya bisa dimakan saat Idul Adha.

Ah, mana mungkin aku bisa mendapatkan gulai kambing itu? Pikirnya. Ningsih hanya bisa memandang masakan itu dari balik jendela. Ibu Ningsih pasti tidak mampu membeli daging kambing yang mahal. Karena Ibunya hanya pembantu yang kerjanya cuci-gosok di rumah tetangga. Ningsih menelan ludah dan segera melanjutkan perjalanan.

Waktu pun cepat berlalu. Adzan dzuhur telah berkumandang. Dagangan hari itu cukup laris dan hampir habis. Sekarang, waktunya Ningsih pulang. Masih terbayang di kepala Ningsih tentang makanan kesukaannya. Ia akan menceritakan Gulai kambing itu kepada Ibunya.

Sesampainya di rumah, Ningsih melihat adiknya sedang duduk bersila. Dia makan dengan lahap seperti orang yang belum makan selama seminggu.

“Bu, apa yang dimakan adik?” tanya Ningsih penasaran sambil menghampiri ibu menyerahkan uang penjualan kue.

“Oh, tadi Pak Haji Salim mengantar nasi kotak aqiqahan anaknya. Makan berdua sama kakak ya, Dik,” ujar Ibu.

“Yaah udah adik makan semua, Bu. Habisnya, adik udah lama nggak makan gulai kambing.” Kata adik dengan polos. Ningsih terduduk di tikar sambil menangis. Ibu segera menenangkan anak pertamanya itu.

“Udah jangan nangis. Sekarang makan aja pake tempe goreng, kapan-kapan Ibu masakin gulai kambing yang enak,” Ningsih pun terpaksa menuruti kata Ibu karena sudah sangat lapar. Andaikan Bapak masih hidup, batin Ningsih sedih.

Tiba-tiba, Ningsih teringat dengan celengan ayamnya di atas lemari. Ningsih berpikir dengan uangnya ini, pasti ia bisa membelikan daging kambing dan meminta Ibu untuk memasak daging tersebut. Ningsih pun segera berlari ke kamar. Ia, mengambil celengan di atas lemari. Saat ingin memecahkannya, Ningsih teringat sesuatu.

“Oh, iya, ini kan tabungan untuk sekolah nanti. Kalau dibelikan daging kambing aku nggak bisa sekolah” katanya pelan. Ia berpikir keras. Dua menit kemudian, ide pun muncul di kepalanya.

Esok paginya, seperti biasa, Ningsih berjualan kue. Dagangan hari itu laris dan habis. Ningsih senang sekali. Ia bersyukur. Itu berarti tabungannya akan bertambah.

Sore harinya, ia berpamitan untuk bermain bersama teman-teman. Ibu mengizinkannya.
 “Sebelum maghrib harus udah pulang ya,” pesan Ibu.

“Iya, bu,” jawab Ningsih terburu-buru.

Sejak saat itu, Ningsih selalu pulang terlambat. Bahkan sampai ibunya khawatir dan mencarinya kemana-mana. Setiap ditanya, anak perempuan itu selalu diam dan terlihat seperti menyembunyikan sesuatu
***
Beberapa hari kemudian, setelah lelah berkeliling berjualan kue, Ningsih bergegas pulang ke rumah karena perutnya sudah keroncongan. Dari jauh, tercium aroma gulai kambing dari arah rumahnya. Ah, pasti itu hanya bayanganku saja, pikir Ningsih.

Sesampainya di rumah, Ia terkejut karena di atas tikar sudah tersedia sebakul nasi dan semangkuk gulai kambing. Terlihat ibu dan adik telah menunggu Ningsih untuk makan siang.

“Ibu masak gulai kambing? Ibu dapat duit dari mana?” tanya Ningsih heran.

“Ibu tadi ngutang daging di tempatnya Mbak Yem, tukang sayur langganan Ibu. Nanti kan bisa dibayar kalau ibu gajian.”

“Ibu nggak tega lihat kamu kerja keras. Pagi-pagi jualan kue sampai jam dua belas. Terus sorenya bantu-bantu di warung Padang, gara-gara pengen makan gulai kambing,” lanjut Ibu.

“Kok Ibu tahu?” seru Ningsih kaget.

“Iya. Kemarin Ibu mampir di warung Padang. Terus Uda cerita kalo setiap sore kamu bantu-bantu di warungnya,” jelas ibu.

Tiba-tiba, adik bicara., “udah ah, jangan ngobrol melulu. Kapan makannya? Udah lapar nih!”
Akhirnya, hari itu Ningsih dan keluarganya bisa makan gulai kambing buatan ibu yang lezat. Uang hasil kerjanya ditabung untuk biaya sekolah tahun ajaran baru nanti.

Bogor, 15 Maret 2014.