^_^ .Assalamu'alaikum. ^_^

Minggu, 23 Maret 2014

Gulai Kambing

Oleh: Naila Yumna Salsabila

Pagi itu, Ningsih berkeliling menjual kue buatan ibunya. Ia berangkat jam tujuh pagi dan pulang jam dua belas siang. Sejak bapaknya meninggal, gadis kecil itu terpaksa berhenti sekolah.

Saat di tengah jalan, perutnya terasa lapar. Ningsih tidak sempat sarapan sebelum berangkat. Tiba-tiba tercium aroma makanan yang sangat lezat. Diikutinya aroma tersebut.

Beberapa saat kemudian, Ningsih menemukan dari mana asal bau yang sedap itu. Ternyata aroma tersebut berasal dari arah dapur rumah Pak Haji Salim. Karena penasaran, ia pun mengintip dari balik jendela.
Ningsih terkejut saat melihat apa yang Bu Haji masak. Satu panci besar dipenuhi oleh gulai kambing, makanan kesukaannya yang hanya bisa dimakan saat Idul Adha.

Ah, mana mungkin aku bisa mendapatkan gulai kambing itu? Pikirnya. Ningsih hanya bisa memandang masakan itu dari balik jendela. Ibu Ningsih pasti tidak mampu membeli daging kambing yang mahal. Karena Ibunya hanya pembantu yang kerjanya cuci-gosok di rumah tetangga. Ningsih menelan ludah dan segera melanjutkan perjalanan.

Waktu pun cepat berlalu. Adzan dzuhur telah berkumandang. Dagangan hari itu cukup laris dan hampir habis. Sekarang, waktunya Ningsih pulang. Masih terbayang di kepala Ningsih tentang makanan kesukaannya. Ia akan menceritakan Gulai kambing itu kepada Ibunya.

Sesampainya di rumah, Ningsih melihat adiknya sedang duduk bersila. Dia makan dengan lahap seperti orang yang belum makan selama seminggu.

“Bu, apa yang dimakan adik?” tanya Ningsih penasaran sambil menghampiri ibu menyerahkan uang penjualan kue.

“Oh, tadi Pak Haji Salim mengantar nasi kotak aqiqahan anaknya. Makan berdua sama kakak ya, Dik,” ujar Ibu.

“Yaah udah adik makan semua, Bu. Habisnya, adik udah lama nggak makan gulai kambing.” Kata adik dengan polos. Ningsih terduduk di tikar sambil menangis. Ibu segera menenangkan anak pertamanya itu.

“Udah jangan nangis. Sekarang makan aja pake tempe goreng, kapan-kapan Ibu masakin gulai kambing yang enak,” Ningsih pun terpaksa menuruti kata Ibu karena sudah sangat lapar. Andaikan Bapak masih hidup, batin Ningsih sedih.

Tiba-tiba, Ningsih teringat dengan celengan ayamnya di atas lemari. Ningsih berpikir dengan uangnya ini, pasti ia bisa membelikan daging kambing dan meminta Ibu untuk memasak daging tersebut. Ningsih pun segera berlari ke kamar. Ia, mengambil celengan di atas lemari. Saat ingin memecahkannya, Ningsih teringat sesuatu.

“Oh, iya, ini kan tabungan untuk sekolah nanti. Kalau dibelikan daging kambing aku nggak bisa sekolah” katanya pelan. Ia berpikir keras. Dua menit kemudian, ide pun muncul di kepalanya.

Esok paginya, seperti biasa, Ningsih berjualan kue. Dagangan hari itu laris dan habis. Ningsih senang sekali. Ia bersyukur. Itu berarti tabungannya akan bertambah.

Sore harinya, ia berpamitan untuk bermain bersama teman-teman. Ibu mengizinkannya.
 “Sebelum maghrib harus udah pulang ya,” pesan Ibu.

“Iya, bu,” jawab Ningsih terburu-buru.

Sejak saat itu, Ningsih selalu pulang terlambat. Bahkan sampai ibunya khawatir dan mencarinya kemana-mana. Setiap ditanya, anak perempuan itu selalu diam dan terlihat seperti menyembunyikan sesuatu
***
Beberapa hari kemudian, setelah lelah berkeliling berjualan kue, Ningsih bergegas pulang ke rumah karena perutnya sudah keroncongan. Dari jauh, tercium aroma gulai kambing dari arah rumahnya. Ah, pasti itu hanya bayanganku saja, pikir Ningsih.

Sesampainya di rumah, Ia terkejut karena di atas tikar sudah tersedia sebakul nasi dan semangkuk gulai kambing. Terlihat ibu dan adik telah menunggu Ningsih untuk makan siang.

“Ibu masak gulai kambing? Ibu dapat duit dari mana?” tanya Ningsih heran.

“Ibu tadi ngutang daging di tempatnya Mbak Yem, tukang sayur langganan Ibu. Nanti kan bisa dibayar kalau ibu gajian.”

“Ibu nggak tega lihat kamu kerja keras. Pagi-pagi jualan kue sampai jam dua belas. Terus sorenya bantu-bantu di warung Padang, gara-gara pengen makan gulai kambing,” lanjut Ibu.

“Kok Ibu tahu?” seru Ningsih kaget.

“Iya. Kemarin Ibu mampir di warung Padang. Terus Uda cerita kalo setiap sore kamu bantu-bantu di warungnya,” jelas ibu.

Tiba-tiba, adik bicara., “udah ah, jangan ngobrol melulu. Kapan makannya? Udah lapar nih!”
Akhirnya, hari itu Ningsih dan keluarganya bisa makan gulai kambing buatan ibu yang lezat. Uang hasil kerjanya ditabung untuk biaya sekolah tahun ajaran baru nanti.

Bogor, 15 Maret 2014.

2 komentar:

  1. Ini anaknya pandai sekali menulis Mbak Ummi, luar biasa. Bagus kisahnya, tentang keseharian, terasa akrab, terasa dekat, sederhana namun memikat......

    Ini blog saya mbak

    www.kangdana.com

    BalasHapus